A. PERKEMBANGAN
ILMU-ILMU PENGETAHUAN
1.
Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pribadi beberapa khalifah terutama
pada masa awal Abassiah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan
sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga terpengaruh dalam kebijaksanaannya
yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu semua,
karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks dan
berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidang.
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama,Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar
ilmu agama. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi
keluar daerah atau ke masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya.
Pada perkembangan selanjutnya mulai
di buka madrasah-madrasah yang di pelopori oleh Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456- 485 H. Lembaga inilah yang
kemudian yang berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di
temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari
tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
a) Gerakan Penerjemah
Pelopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah
khalifah Al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Dia
mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk
menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat
berguna bagi kafilah dengan baik, dari darat maupun laut. Buku tentang
ketatanegaraan dan politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind
dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip
berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya
Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya
Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan
Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga
di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab
dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyhaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani dari
Syiria. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan
kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena
struktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan struktur kalimat dalam
bahasa Arab.
Pada masa Al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai langsung
oleh Hunayn Ibn Isyhaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan Hubaish keponakannya
serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr
Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan
lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang
berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan
penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerap bahasa
Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
b) Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga
berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini adalah kelanjutan dari JandishapurAcademy yang ada pada
masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan
cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun Ar-Rasyid institusi ini
bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, Al-Ma’mun
mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait Al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait Al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern
yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia,
Byzantium, bahkan Ethiopia dan India. Selain itu Bait Al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti
perbintangan dan matematika. Di institusi ini Al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan
Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang
nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
c) Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua
metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara
sistematis dan kronologis seperti, Shahih, Dhaif, dan Madhu’.
Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad, dan Matan, sehingga
terlihat Jarrah dan Takdil Rawi yang meriwayatkan Hadits
tersebut.
Dalam bidang Fiqh, lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (700-767 M), seorang
hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (713-795 M), Muhammad
Ibn Idris as-Syafi’i (767-820 M),
Imam Ahmad Ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena bahasa Arab semakin
dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, Badi’, Arudh, dan
Insya.
2.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains
dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam
bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah :
a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari (w. 777 M), ia adalah astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu
alat untuk mengukur ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada
ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani,
al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi.
b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn
Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh
lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
c). Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M),
al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidup pada abad ke 12 M.
d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H
adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari.
Kemudian ahli ilmu Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (820-913 M).
B.
PERKEMBANGAN EKONOMI
Dalam masa
permulaan pemerintahan Abassiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan cukup
stabil dan menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh berlimpah-limpah.
Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abassiyah yang telah mampu meletakkan
dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan negara.
Di sektor pertanian,
daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah negara, bendungan-
bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak
terjangkau oleh irigasi.
Di sektor perdagangan,
kota Bagdad di samping sebagai kota politik agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar
di dunia saat itu. Sedangkan
kota Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan
transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya
kontak perdagangan tingkat internasional ini semenjak khalifah Al-Mansur.[5][9]
Secara
umum, kendali pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara itu, dalam
operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir
(menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi(hakim), dan masalah
militer dipegang oleh amir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar