A. PENDAHULUAN
Menyimak pendidikan di Indonesia khususnya matematika di sekolah, baik di tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjutan, belum pernah memberikan hal yang menggembirakan, baik untuk skala nasional maupun internasional. Indonesia masih jauh tertinggal oleh negara-negara lain meski di kancah Internasional secara individu siswa Indonesia ada yang berprestasi namun hal itu bukan merupakan potret dari pendidikan di Indonesia.
Bukan tidak disadari adanya hal tersebut oleh kalangan praktisi pendidikan, tapi justru kini tengah menjadi bahan pengembangan oleh pemerintah (Depdiknas) yang terus berupaya mengganti (memperbaiki) kurikulum berkali-kali meski kajian belum juga dilakukan. Namun apakah usaha tersebut memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia? jawabnya jelas itu bukan solusi.
Beberapa hal yang menjadi kendala bagi pendidikan di Indonesia terutama pendidikan matematika, diantaranya adalah adanya kurikulum yang dikembangkan dengan hanya berdasar teori atau mencontoh atau mengadop dari kurikulum negara lain tanpa dikembangkan dari kasanah negeri sendiri, terlalu ingin cepat melihat hasil sehingga proses dinomorduakan, melupakan bahwa pendidikan adalah investasi masa depan yang hasilnya tidak dapat langsung dirasakan. Berikutnya adalah paradigma pembelajaran masih mengutamakan pandangan behaviorisitik, sehingga pemahaman dari pengetahuan yang diperoleh siswa jadi berkurang. Dari factor human, loyalitas guru terhadap tujuan pendidikan sangat berkurang (tidak tahu? atau tidak mau tahu?), yang ada hanya yang penting mengajar, target kurikulum seringkali menjadi tujuan utama, yaitu materi sudah disampaikan kepada siswa, hal ini karena Diknas membuat kurikulum masih merupakan “dewa” yang harus diikuti sihingga pendidikan jadi berbelok arah, yaitu agar “dewa” senang.
B. Pentingnya Pembelajaran Matematika
Sepercik harapan akan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu terbesit disetiap guru khususnya para guru matematika. Sudah bukan zamannya lagi matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa di sekolah. Jika selama ini matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kering, teoretis dan hanya berisi rumus-rumus, seolah berada "di luar"-¬¬¬¬¬¬¬¬¬mengawang jauh dan tidak bersinggungan dengan realitas kehidupan siswa-kini saatnya bagi siswa untuk akrab dan familier dengan matematika.
Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh.
Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu tersebut.
Satu hal lagi yang sangat menarik bahwa matematika dalam kurun ”zaman keemasan” para kaum Muslimin sekitar abad ke-delapan, adalah salah satu bidang ilmu yang paling digemari karena ada kaitannya dengan kebutuhan religi, misalnya untuk menghitung warisan dan kalender Islam, penentuan waktu shalat, menentukan waktu yang akurat dari gerakan bulan dan bintang, dan sebagainya. Sebagaimana diungkap oleh Mohaini Mohamed (2001) bahwa matematika menjadi kegemaran utama bagi kaum muslimin ketika itu karena bidang itu menggabungkan kesatuan dan karakter abstrak dari pemikiran Islam. Matematika tidak dianggap sebagai ajaran sekuler, tetapi lebih sebagai sarana untuk menyalurkan pemahaman pada bidang yang dapat dimengerti. Matematika, menurut kaum muslimin merupakan kunci menguak misteri tentang Tuhan.
Antusiasme relegius yang digambarkan diatas sekaligus menorehkan prinsip matematika dari sudut transendental bahwa Tuhan ada di segala tempat di alam semesta yang di dasarkan pada prinsip kepastian. Maka seperti yang dibukukan dalam sejarah, perkembangan dan produktivitas matematika terutama pada abad sembilan dan sepuluh seolah mengalami keajaiban yang luar biasa dikalangan matematikawan Islam.
Belajar matematika adalah sesuatu yang cukup. Ini merupakan suatu syarat kecukupan. Mengapa? Karena dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. Sekaligus pada saat yang sama, kita akan mengamati keberdayaan matematika (power of mathematics) dan tentunya menumbuh kembangkan kemampuan learning to learn. Jadi, kecuali untuk mendapatkan daya matematika itu sendiri sebagai alat penyelesai permasalahan dalam kehidupan nyata, kita belajar matematika sebagai suatu wahana yang memfasilitasi kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan peningkatan kepercayaan diri dalam bermatematika. Tentunya kemampuan bernalar yang dipunyai anak didik melalui proses belajar matematika itu akan meningkatkan pula kesiapannya untuk menjadi lifetime learner atau pemelajar sepanjang hayat.
C. Potret Pembelajaran Matematika
Perspektif sejarah biasanya menjadi referensi kecil untuk merenungkan bagimana potret matematika kita disini, saat ini. Sudahkan kita (pemerintah, masyarakat, politisi, semua elemen bangsa ini) memberikan apresiasi secara memadai terhadap persoalan matematika di negeri ini?
Pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita hingga saat ini ibarat benang kusut yang sulit diurai. Kita masih berkutat di sekitar persoalan pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran matematika, alat peraga dan sebagainya, dan beriringan dengan itu kita dihadapkan kepada kenyataan kemampuan para guru matematika kita yang belum memadai. Kita seolah mundur beberapa abad dan baru mulai meraba-raba seperti apa pembelajaran matematika yang kita butuhkan. Kita tidak lagi punya kesempatan yang luas untuk mengembangkan proses pembelajaran kita ketingkat yang lebih tinggi (lebih bermakna) semisal membawanya kepada pesan transendental sebagaimana capaian-capaian yang ditunjukkan para pendahulu kita beberapa abad yang lalu.
Kemelut itu bahkan tidak berakhir sampai disitu. Ketika kita kemudian berpikir tentang inovasi, kita masih terperangkap dalam situasi jangka pendek. Ada terget standar kelulusan pada ujian nasional – misalnya -- yang menjadi acuan penilaian keberhasilan pembelajaran di sekolah. Maka kemudian kita gulirkan program –program ”instan” untuk mengatasi persoalan Ujian Nasional tersebut. Dari tahun ke tahun, hampir semua sekolah menyiapkan program khusus untuk mengantisipasi ujian nasional tersebut. Akhirnya kita sulit membantah ketika ada tudingan bahwa pembelajaran di sekolah ”ujung-ujungnya” adalah untuk melayani kebutuhan ujian dan kelulusan peserta didik.
Guru masih kesulitan untuk beranjak dari peran klasiknya sebagai penerus pengetahuan dan membantu para siswanya untuk naik kelas dan lulus ujian. Sebagai implikasinya, pembelajaran matematika, sebagaimana juga mata pelajaran lain di sekolah saat ini belum banyak menggarap dan mengembangkan sikap kritis serta kemandirian siswa. Ujian Nasional seolah telah menjadi kiblat pembelajaran di sekolah. Sebagian besar energi tersedot untuk kepentingan itu.
Singkatnya, penjelajahan kita di bumi pembelajaran matematika masih terbatas pada issu-issu yang kecil dan parsial. Ini sesuatu yang paradoksal, ketika kita ingin menggagas sebuah inovasi dengan perspektif jangka panjang dan strategis, disaat yang bersamaan kita dihadang oleh beban-beban jangka pendek yang sangat pragmatis, dan keduanya tidak selalu persis berada pada garis yang sama. Sayangnya kita justru selalu terjebak pada situasi yang kedua.
Seharusnya kita sudah ”jenuh” dengan berbagai data tentang kelemahan dan kekurangan bangsa kita pada berbagai sektor kehidupan. Kita sudah lelah memandangi potret buram pendidikan kita. Namun, Impactnya secara positif dari sajian fakta-fakta tersebut ternyata tidak muncul. Bahkan hal itu sering menjadi bahan tertawaan kita sendiri.
Sekarang, kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi. Guru terbebani dengan target untuk menyelesaikan beban materi yang sangat besar. Jika ada dua guru bertemu, yang akan menjadi bahan pembicaraan adalah sampai di mana pembahasan materi di kelasnya. Bukan mendiskusikan bagaimana menyampaikan suatu materi dengan menarik. Yang terakhir ini sudah tidak sempat lagi diperbincangkan. Dan, tidak relevan dengan keadaan seperti sekarang.
Proses pembelajaran matematika yang disediakan di sekolah akibatnya tidak berjalan secara optimal. Mungkin jadi lebih tepatnya, yang ada hanyalah proses pengajaran matematika, bukan pembelajaran. Dalam pelajaran matematika yang seharusnya kita belajar bernalar, telah diubah menjadi pelajaran menghafal. Sangat aneh jika pelajaran matematika diberikan dengan guru yang ceramah di depan kelas atau "berbicara" dengan papan tulisnya, sedangkan muridnya hanya mencatat. Lalu, murid itu akan menghafal semua yang dicatatnya. Dan, pada saat ulangan nanti, murid itu cukup "memuntahkan" kembali info yang dicatatnya atau ditelannya. Ini semua terjadi hampir di setiap kelas. Ini jelas mengasingkan aktivitas bermatematika yang benar dengan pelajaran matematika.
Hal tersebut diatas didukung oleh beberapa faktor:
a. Peran guru
Guru dalam hal ini mendominasi kelas, yang berkuasa dan siswa dianggap sebagai obyek yang dikuasasi, diatur diarahkan, dibimbing. Semua ide-ide, informasi, pertanyaan, evaluasi dan penilaian berpusat pada guru. Guru hendak memindahkan semua yang dimiliki, jadi memberikan pengetahuan kepada siswa tidak membangun pengetahuan.
b. Perlakuan siswa
Semua siswa dianggap sama (walaupun kenyataannya masing-masing individu berbeda), baik dari bakat, minat, kemampuan, kesiapan belajar,dll. Dalam uji kemampuan semua siswa diberi soal dengan tingkat kesukaran yang sama, dengan harapan semua siswa maju bersama.
c. Pertanyaan
Hampir semua pertanyaan datangnya dari guru, siswa hanya menjawab dan menjawab. Sebagaian besar pertanyaan hanlah hanya tes ingatan ( mengingat rumus ).
d. Latihan soal
Soal-soal yang diberikan hanyalah penerapan dari rumus, tidak memberikan pancingan kepada siswa untuk berpikir. Yang penting adalah jawaban.
e. Interaksi
Interaksi belajar satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Siswa hampir tidak diberikan kesempatan memberikan umpan balik kepada guru. Sehingga guru dianggap satu-satunya yang paling pintar di kelas tersebut.
f. Sumber belajar
Sumber belajar yang ada hanyalah guru dan buku itupun sedikit / tidak semua siswa punya buku sumber.
g. Alat bantu ( media ) belajar
Alat bantu yang digunakan biasanya hanya talk dan chalk. Guru biasanya kurang kreatif, malas, apalagi berinovatif untuk berprakarsa membuat alat bantu atau media yang sesuai.
h. Variasi kegiatan
Kegiatan belajar biasanya hanya : Rumus – latihan soal – soal. Mengikuti urutan baku yang ada dalam buku (sesekali mencatat, bercerita, bertanya, latihan soal) merupakan rutinitas setiap harinya.
i. Pengelolaan kelas
Pembelajaran kebanyakan dilakukan secara klasikal atau kelompok besar. Hampir tidak pernah dicoba untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif. Jadi kemampuan individu yang bervariasi terabaikan dan kurang diperhatikan.
j. Penilaian
Penilaian dan bentuk soal kurang variatif. Biasanya hanya ulangan harian dan ulangan umum
Mensikapi dari potret guru matematika diatas yeng penting sekarang adalah bagaimana kita sebagai calon guru matematika melakukan perubahan (hijrah) terhadap paradigma lama pembelajaran matematika ke paradigma baru, untuk disesuaikan dengan pembelajaran yang sesuai dengan keadaan saat ini. Bagaimana potret pembelajaran matematika yang sesuai dengan keadaan saat ini? Adalah pembelajaran yang inovatif. Menurut Dr. Marsigit (2008 : Nilai Matematika dan Nilai Luhur Bangsa) dikemukakan bahwa ,” Transfer of knowlwdge “, dari guru ke murid telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai denga hakekat mendidik. Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau, sebagai alternatifnya dikembangkan paradigma baru yaitu “Cognitive-development” sebagai upaya untuk mengembangkan potensi sibelajar. Hal tersebut tentunya dapat dipahami bahwa pembelajaran progresif (inovatif) – lah yang dimaksud.
Pada dasarnya kita ketahui bersama bahwa matematika senantiasa ada pada semua kurikulum sekolah. Entah itu tingkat Taman Kanak-kanak sampai tingkat Perguruan Tinggi, matematika senantiasa termasuk salah satu materi yang tercakup dalam kurikulum. Akan tetapi kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi dan tidak relevan dengan kedaan sekarang ini.
Dengan demikian solusi untuk permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kurikulum dapat di atasi dengan berbagai langkah diantaranya:
1. Kurikulum dikembangkan atas dasar kasanah dalam negeri sendiri, sesuai dengan kondisi baik lingkungan maupun siswa.
2. Target kurikulum jangan dijadikan “dewa” dalam pendidikan, namun dimulai dengan menetapkan prinsip dan standar yang jelas, dan itu diberikan otonomi kepada sekolah bersangkutan.
3. Bangun sikap loyalitas para guru dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.
4. Kembangkan paradigma pembelajaran yang konstruktif.
D. PEMIKIRAN KEARAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG LEBIH BAIK.
Sebagai bangsa kita memang telah mangalami multi krisis yang luar biasa tetapi itu belum berarti ”kiamat” karena kita masih punya ruang yang amat luas untuk menyatukan seluruh potensi yang mungkin masih berserakan, dan dengan itu pula kita membangun optimisme untuk membimbing anak-anak kita membangun utuh rumah-rumahan kartu mereka untuk menuju rumah yang sesungguhnya yaitu sebuah masa depan yang bermartabat.
Menyikapi hal-hal yang terjadi sekarang ini, kita semua harus menanggalkan bayangan-bayangan kelemahan dan kegagalan dan mulai fokus kepada kekuatan yang kita miliki. Dengan cara menumbuh suburkan self confidence dan mulai mengurangi kekaguman yang berlebihan terhadap semua ”produk” dari luar. Terkait dengan pembelajaran matematika misalnya, kita masih memiliki peluang besar untuk melakukan inovasi secara optimal. Eksistensi PPPG atau PPPPTK Matematika dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan simbol sekaligus situs yang sangat strategis untuk menggagas dan mengembangkan konsep-konsep inovasi pembelajaran matematika sesuai dengan karakteristik dan realitas permasalahan pendidikan matematika yang dihadapi. PPPG matematika memiliki SDM yang tangguh dan networking yang luas dan hal itu cukup memadai untuk melahirkan suatu inovasi dalam pembelajaran matematika. Dengan melakukan starting pada wilayah kekuatan kita, berbasis pada permasalahan esensial yang kita hadapai, plus menyerap muatan-muatan dari berbagai referensi yang relevan, maka peluang kita akan lebih besar untuk melahirkan konsep yang aplicable dan responsif terhadap kebutuhan permasalahan pendidikan matematika di sekolah kita.
Permasalahan lainnya yang perlu disinggung di sini adalah persepsi yang berkembang pada diri anak didik bahwa matematika adalah sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya. Ini tentunya sangat menyedihkan. Matematika memang suatu ilmu yang abstrak. Mungkin pula sulit dicerna. Ini wajar. Namun, kita sebagai calon guru haruslah senantiasa berupaya menunjukkan relevansi matematika dalam kehidupan nyata. Ini suatu keharusan. Dengan mekarnya persepsi tentang tidak relevannya atau tak bermanfaatnya matematika, motivasi belajar matematika anak didik menjadi turun. Atau malahan menjadi hilang. Akibatnya, banyak dari siswa-siswa itu menghafal matematika bukan memahaminya.
Oleh karena itu kita harus mengubah persepsi anak tentang matematika salah satunya dengan cara pembelajaran Matematika realistik. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Pembelajaran MR menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Dengan kata lain, pembelajaran MR berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna (pengertian).
Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika realistik.
Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan:
1. kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan
2. kepada guru-guru matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi siswa menyampaikan pendapat.
terimakasih mas andi,
BalasHapussalam kenal.
JC