Translate

Selasa, 18 Januari 2011

Proses Masuknya Islam Ke Indonesia Lewat Jalur Wali Songo dan Tasawuf

Wali Sanga di tanah Jawa dikenal sebagai sem¬bilan orang Wali-Ullah yang dianggap sebagai penyiar-penyiar terkemuka agama Islam. Mereka ini sengaja dengan giat menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam. Waktu penduduk tanah Jawa masih berkeper¬cayaan lama yang percaya dengan hal-hal gaib, para wali tersebut dipercaya mempunyai keku¬atan gaib, mempunyai kekuatan batin yang berlebih, dan mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itulah mereka itu dipercaya sebagai pembawa dan penyiar agama Islam ahli dalam tasawwuf.

Wali Sanga jumlahnya ada sembilan orang, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Syekh Siti Jenar. Kebanyakan dari gelar-gelar ini di¬ambil dari nama tempat mereka dimakamkan, misalnya Gunung Jati di dekat Cirebon, Drajat dekat Tuban, Muria di lereng Gunung Muria, Kudus di Kudus dsb.

Dalam masa hidupnya mereka menyebarkan agama Islam di daerah tempatnya bermukim. Di wilayahnya itu mereka juga membangun masjid sebagai tempat beribadah. Di daerah sekitar kaki selatan Gunung Muria, banyak ditemukan tinggalan makam para Wali dan masjid tinggalannya, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus. Masjid yang dibangun adalah Masjid Demak dan Masjid Kudus.

Walaupun di Indonesia dikenal mazhab Syafi‘i dan menganut Sunnah wal Jamaah, namun di kalangan masyarakat di beberapa tempat di Nusantara masih ditemukan jejak-jejak Syi‘ah yang semula dikenal pusatnya di Persia (Iran). Di Timur Tengah dan di Persia, penganut Sunnah wal Jamaah dan penganut Syi‘ah tidak sepaham, terutama dalam hal sumber hukum Islam (ijma= kesepakatan para alim ulama). Dalam aliran ini sudah dimulai politisasi agama, terutama pada dasar hukum ijma. Kaum Syi‘ah menganggap bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Ijma, dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi Muhammad SAW dapat menjadi Khalifah. Karena itulah yang kaum Syi‘ah menganggap al-Qur‘an dan Hadist saja yang menjadi dasar hukum agama Islam, sedangkan Ijma dan Qiyash (= per¬umpamaan) tidak perlu.

Runtuhnya kesultanan Syi‘ah tidak menyurutkan ajaran yang “terlanjur” ber-kembang di masyarakat. Berbagai ritual Syi‘ah menjelma menjadi tradisi yang masih ditemukan di beberapa daerah di Nusatara. Di Indonesia penganut Syi‘ah jumlahnya tidak banyak (sekitar 1 juta), namun di beberapa tempat tradisi yang biasa dilakukan umat Syi‘ah masih dapat ditemukan, dan secara kontinyu dilaku¬kan oleh kelompok masyarakat tersebut.

Dapat dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi Syi‘ah, misalnya:Perayaan Tabot, peringatan Hari Arbain atau hari wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad) oleh kaum Syiah dalam bentuk perayaan tabot (tabut). Tabot dibuat dari batang pisang yang di¬hiasi bunga aneka warna, diarak ke pantai, diiringi teriakan “Hayya Husein hayya Husein” yang arti¬nya “Hidup Husein, hidup Husein”. Pada akhir upacara tabot ini kemudian dilarung di laut lepas. Benda yang disebut tabot melambangkan keranda mayat. Perayaan Tabot masih dilakukan masyarakat pada setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu, Pariaman, dan Aceh.

Asyura di Jawa dalam sistem pertanggalan Jawa berubah menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan Muharram (bulan wafatnya Husein). Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan istilah “Kasan Kusen”. Di Aceh, Asyura diistilahkan dengan Bulan Asan Usen. Di Makassar Asyura dimaknai sebagai perayaan kemenangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga masyarakat merayakan¬nya dengan sukacita. Mereka membuat bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam.

Peringatan Hari Arbain dirayakan juga di Desa Marga Mukti, Pengalengan, Jawa Barat. Ratusan umat Islam Syi‘ah memenuhi Masjid al-Amanah untuk melakukan nasyid, doa persembahan kepada Imam Husein, dan ziarah Arbain, doa untuk keluarga Ali bin Abi Thalib.

Debus. Adalah pertunjukan yang hubungannya erat dengan tarekat Rifa‘iyah. Tarekat ini didirikan oleh Ahmad al-Rifa‘i yang wafat pada tahun 1182 Masehi. Tarekat ini pandangannya lebih fanatik dengan ciri-ciri melakukan penyiksaan diri, mukjizat-mukjizat seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menyi¬ramkan air keras (HCl) ke tubuhnya, dan menusuk-nusuk tubuh dengan benda tajam. Penganut Rifa‘iyah dengan debus-nya terdapat di Aceh, Kedah, Perak, Banten, Cirebon, dan Maluku bahkan sampai masyarakat Melayu di Tanjung Harapan Afrika Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger