Translate

Selasa, 18 Januari 2011

Proses Masuknya Islam di Indonesia Berdasar Peninggalan Sejarah ( Kargo Cirebon)

Di antara runtuhan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon, ada beberapa jenis benda yang mungkin tidak termasuk dalam barang komoditi. Beberapa jenis barang tersebut adalah sebuah benda berbentuk tanduk yang dibuat dari logam berlapis emas, sebuah benda berbentuk cumi-cumi (sotong) dari kristal, cetakan tangkup (mould) dari batu sabun (soapstone), serta benda-benda perunggu yang berfungsi sebagai alat-alat upacara agama Buddha/Hindu.

Orang-orang di dalam sebuah kapal merupakan satu komunitas tersendiri, ada nakhoda, kelasi, dan penumpang. Semuanya itu dipimpin oleh seorang nakhoda. Dialah yang memegang kendali di kapal. Demikian juga penumpang kapal yang terdiri dari bermacam status sosial dan profesi. Ada golongan pedagang, mungkin ada bangsawan dan pendeta/bhiksu, dan ada juga penumpang biasa. Semua itu dapat diketahui dari benda-benda yang disandangnya.

Ibn Khordadhbeh, seorang pejabat yang dilantik khalifah Dinasti Abassiyah pada sekitar abad ke-9 Masehi, adalah seorang pedagang yang pernah berkunjung ke Zabag (Śrīwijaya). Dia menulis sebuah buku yang berjudul Kitab al-masalik wa-l-mamalik (Buku tentang Jalan-jalan dan Kerajan-kerajaan). Buku ini berisi tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap tempat yang dikunjunginya. Sebagai seorang pejabat yang dilantik oleh Khalifah tentunya mempunyai tanda legitimasi dan atribut lain yang dibawa dan disandangnya.

Cetakan tangkup yang dibuat dari batusabun (soapstone) berbentuk empat persegi panjang (4,2 x 6,7 cm). Pada salah satu sisinya terdapat kalimat yang ditulis dalam aksara Arab bergaya kufik: “al-malk lillah; al-wahid; al-qahhar” yang berarti “Semua kekuasaan itu milik Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa” dalam dua buah bingkai empat persegi. Kalau diterjemahkan secara harfiah, maka kalimat itu mengandung asma‘ul husna, tepatnya merupakan sifat yang dimiliki mausuf (Allah) yang memiliki kekuasan.

Melihat gaya tulisan kufik yang dipakai tampaknya masih kaku jika dibandingkan dengan gaya tulisan kufik pada batu nisan Malik as-Saleh (wafat 1297 Masehi) dari Samudra Pasai (Aceh). Bentuk tulisan ini diduga berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi yang dikembangkan di daerah Kufah pada masa pemerintahan kekhalifahan Bani Abassiyah (750-870 Masehi).

Sebuah cetakan (mould) dengan ciri-ciri antara lain tulisan digoreskan pada bidang segi empat dalam bentuk negatif. Bidang segi empat yang bertulisan tersebut ada dua buah dibentuk dengan cara “dikorek” sedalam kurang dari 0,5 mm. Dari bagian sisi bawah (dilihat dari bentuk tulisan/aksara) dari bidang segi empat tersebut terdapat garis yang bertemu pada satu titik. Pada titik pertemuan kemudian melebar membentuk corong. Garis berpotongan tersebut mempunyai ukuran lebar 1 mm. dan dalam kurang dari 0,5 mm. Bagian yang membentuk corong berukuran lebar 1-3 mm. Di bagian bawah bidang empat persegi, terdapat dua buah tonjolan yang bergaristengah sekitar 5 mm. dan tinggi sekitar 3 mm. Di bagian atas bidang segiempat terdapat garis yang dibentuk dengan cara dikorek, kemudian permukaan lainnya lebih tinggi dari permukaan atas dua bidang segiempat.

Apabila diperhatikan dengan seksama, benda ini merupakan semacam cetakan untuk logam mulia, seperti emas dan perak. Seharusnya ada sepasang yang saling menangkup, tetapi bagian yang satunya tidak ditemukan. Dua tonjolan bulat yang ada pada permukaan benda tersebut, merupakan semacam pasak pengunci agar tidak bergerak ketika proses pengecoran. Bagian yang berlu¬bang¬nya seharusnya terdapat pada bagian tangkupan yang hilang. Garis-garis yang bersilang dan bertemu pada satu bentuk corong merupakan tempat mengalirnya cairan logam yang memenuhi bidang segiempat. Tempat memasukan cairan pada bagian yang membentuk corong.

Hasil dari logam yang dicor tersebut berupa lempengan tipis dengan kalimat-kalimat asma‘ul husna yang timbul. Kalimat-kalimat tersebut dikelilingi bingkai empat persegi dengan hiasan titik-titik seperti umumnya terdapat pada mata-uang logam. Bagian yang memanjang, dapat dipotong dan dapat pula tidak. Saya belum dapat memastikan fungsi dari benda yang dicetak tersebut. Berdasarkan perbandingan yang diketahui, benda semacam ini berfungsi sebagai jimat dengan tulisan asma‘ul husna. Memang dalam keyakinan Islam tidak dikenal jimat, tetapi dalam kenyataannya sebagian umat Islam memandangnya sebagai jimat yang bertulisan asma‘ul husna.

Kalau ditelaah dari stempel yang beraksara Arab tersebut, kapal asing yang tenggelam bersama kargonya di perairan Cirebon, diduga kapal yang berasal dari pelabuhan Kufah atau Basra yang sekarang termasuk wilayah Republik Irak. Ini berarti bahwa kapal bersama kargonya berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Dalam pelayarannya ke arah timur (mungkin ke Kambangputih, Tuban) di perairan Cirebon tertimpa musibah dan tenggelam bersama kargonya. Dilihat dari posisinya di dasar laut, kapal ini tenggelam karena kelebihan muatan. Bagian ruang nakhoda masih tampak utuh (tidak terlalu porak poranda).

Artefak yang berbentuk tanduk pada bagian yang lurus berukuran panjang sekitar 10 cm. Bagian pangkalnya berbentuk segi delapan dengan garis tengah 4 cm. Bagian yang melengkung diberi hiasan berupa ukir-ukiran sulur daun. Bagian pangkalnya berbentuk helaian teratai. Berdasarkan perbandingan dengan benda yang sama dan menjadi koleksi Museum Nasional, benda tersebut merupakan hulu sebuah pedang. Hulu pedang koleksi Museum Nasional tersebut ditemukan di Cirebon dan berasal dari sekitar abad ke-8-9 Masehi.

Ada kemungkinan lain artefak ini berfungsi sebagai hulu pedang (pendek). Cirinya tampak pada sebuah lubang empat persegi panjang pada bagian pangkalnya. Lubang empat persegi panjang ini berfungsi sebagai tempat untuk memasukan bilah senjata tajam pada pegangan. Apabila difungsikan sebagai¬mana layaknya pedang, pegangan ini terasa tidak nyaman. Mungkin saja senjata tajam dengan gagangnya dari emas berhiasan ukiran ini berfungsi sebagai simbol status dari pemiliknya.

Benda lain yang diduga merupakan hulu pisau atau senjata tajam adalah benda dari kristal yang berbentuk seperti cumi-cumi (sotong). Bagian untuk mema¬sukan bilah senjata berdenah bulat panjang. Pada foto tampak samar-samar lubang yang memanjang dari ujung ke bagian tengah. Bagian atas (lihat foto) ditempatkan melekat pada telapak tangan, sedangkan bagian bawah melekat pada jari-jari tangan.

Hampir seluruh artefak yang diangkut tersebut bukan produk salah satu kerajaan di Nusantara. Ada yang berasal dari Timur Tengah dan India, dan ada pula yang berasal dari Tiongkok. Meskipun demikian, artefak tersebut manfaatnya sangat besar bagi sejarah kebudayaan Indonesia, khususnya sejarah masuknya Islam di Indonesia.

Berdasarkan sumber-sumber tertulis para sejarahwan berteori bahwa masuknya Islam di Indonesia dibawa oleh kaum pedagang Islam. Dengan ditemukannya artefak-artefak yang berasal dari negeri-negeri yang beragama Islam dalam konteksnya dengan barang dagangan, teori tersebut semakin mendekati kebenaran. Cetakan beraksara Arab dengan menyebutkan nama-nama Allah, merupakan bukti kuat bahwa Islam masuk melalui “perantara” para pedagang Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger